Minggu, 18 Juli 2010

sectio caesaria

Proses persalinan adalah proses pengeluaran janin dari dalam uterus melalui vagina. Namun apabila janin tidak dapat lahir secara normal atau alami maka perlu dilakukan operasi yang sering disbut operasi sectio caesaria. Menurut Leon J. Dunn, ada empat alasan dilakukannya sectio caesaria yaitu untuk keselamatan ibu dan janin ketika persalinan berlangsung, tidak terjadi kontraksi, adanya distosia sehingga menghalangi persalinan alami, bayi dalam keadaan darurat sehingga harus cepat dilahirkan tetapi jalan lahir tidak mungkin dilewati janin (Dini Kasdu, 2003).

Adapun masalah-masalah yang timbul akibat operasi sectio caesaria antara lain, potensi terjadinya trombosis, nyeri pada daerah sekitar incisi, gangguan pada transfer ambulasi, potensi terjadinya penurunan kapasitas paru, penurunan elastisitas perut dan lain-lain.

Dari masalah-masalah yang sudah tertulis diatasa tersebut, peran fisioterapi juga dibutuhkan pada pasien pasca operasi sectio caesaria yaitu terapi latihan. Adapun terapi latihan yang diberikan dapat berupa Breathing Exercise, Positioning, Post-natal exercise.

Senin, 12 Juli 2010

STRETCHING


Stretching adalah salah satu teknik latihan yang bertujuan untuk penguluran struktur jaringan lunak yang memendek (kisney, 1990). Stretching atau peregangan adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan suatu cara terapi dengan tujuan memperpanjang struktur jaringan lunak yang mengalami pemendekan. Cara ini dapat meningkatkan panjang otot dan lingkup gerak sendi (Barkah Sugiharto, 2008).

Stretching terbagi menjadi passive stretching dan aktive stretching. Passive stretching, adalah penguluran yang dilakukan dengan menggunkan tenaga dari luar atau dari terapis, sedangkan otot-otot pasien dalam keadaan rilek.

1) Prosedur Melakukan passive stretching

Sebelum melakukan passive stretching perlu diperhatikan ketentuan melakukan passive stretching sebelum melakukan latihan, yaitu mengindentifikasi keterbatasan fungsional, menentukan jaringan yang akan di stretching, dan memeriksa kekuatan otot. Kemudian menentukan teknik stretching yang akan digunakan. Setelah didapatkan hasil dari ketentuan tersebut, maka terapis dapat menjelaskan maksud, tujuan dan tata cara penggunaan passive stretching, kemudian posisikan pasien senyaman mungkin dan terapis berada pada posisi yang dapat dengan mudah menjangkau gerakan. Area yang akan di stretching dibebaskan dari sesuatu yang mengganggu, misalnya pakaian yang terlalu longgar.

2) Pelaksanaan passive stretching

Setelah posisi pasien dan terapis berada pada posisi yang nyaman, berikan Fiksasi pada bagian proksimal sendi yang akan digerakan, bagian yang akan digerakan diberikan support dengan baik, agar pasien merasa nyaman saat terapi berlangsung. Kemudian gerakan ekstremitas yang akan di stretching secara perlahan sampai batas sendi, lakukan stretching dimulai dengan kekuatan ringan, sedang sampai berat.

Kemudian turunkan perlahan-lahan tahanan yang diberikan, istirahat dan ulangi kembali stretching. Setelah dilakukan stretching bila diperlukan berikan terapi dingin pada jaringan lunak, untuk menghindari nyeri dan microtrauma pasca stretching.

Minggu, 04 Juli 2010

Mengenal DMP (dystropia musculorum progresifa) tipe DUCHENNE













Jaringan otot adalah suatu jaringan yang disusun oleh sel-sel otot yang berfungsi untuk menggerakkan organ-organ tubuh. Kemampuan tersebut disebabkan karena jaringan otot mampu berkontraksi. Kontraksi otot dapat berlangsung karena molekul-molekul protein yang membangun sel otot dapat memanjang dan memendek.

Distrofi otot adalah suatu kelainan otot yang biasanya terjadi pada anak-anak karena adanya penyakit kronis atau cacat bawaan sejak lahir, sedangkan Kelemahan otot adalah suatu keadaan di mana otot tidak mampu lagi melakukan kontraksi. Pada penderita distropia muskulorum progresiva terjadi degenerasi yang progresif pada otot tanpa adanya kelainan dari susunan saraf pusat, spinal cord, anterior horn cell, saraf tepi dan neuromuskular junction (Roberta B, 1995).

Catatan sejarah mengenai muscular dystrophy (MD) pertama kali muncul pada tahun 1830, ketika Sir Charles Bell menulis suatu kejadian mengenai suatu penyakit yang menyebabkan kelemahan penyakit pada anak - anak. Dalam dekade selanjutnya, ahli penyakit saraf dari Prancis Guillaume Duchenne memberikan laporan mengenai 13 anak laki-laki dengan bentuk tersering dan terparah dari penyakit ini yang selanjutnya dinamakan sesuai namanya Duchenne muscular dystrophy (Hendy stio iwantono, 2008).

Keluhan utama pada penderita DMP tipe Duchenne adalah kelemahan otot yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan baru dalam rehabilitasi. Fisioterapi memegang peran yang penting dalam menjaga fleksibilitas otot, mencegah terjadinya kontraktur dan mobilisasi sendi dengan mengunakan terapi latihan. Insiden distropia muskulorum progresiva antara 13 sampai 33 dalam 100.000 kelahiran hidup bayi laki-laki (Halum A. 1995). Sumber lain mengatakan sekitar 1 sampi 3500 kelahiran hidup bayi laki-laki (Wayne A).

Dilihat dari aspek fisioterapi, distropia muskulorum progresiva tipe Duchenne dapat menimbulkan berbagai tingkatan gangguan yaitu “impairment” seperti menurunnya kekuatan otot, keterbatasan gerak akibat dari kontraktur dan “disability” seperti ketidakmampuan mengangkat kaki, bahkan tingkat “functional limitation” seperti keterbatasan melakukan kegiatan tertentu seperti berdiri, berjalan, menaiki tangga, memakai baju dan lain-lain akibat dari menurunnya kekuatan otot.

Pada penderita distropia muskulorum progresiva tipe Duchenne kelemahan otot yang terjadi tidak dapat ditingkatkan lagi kekuatan ototnya, sehingga tujuan dari pemberian terapi hanya untuk memperlambat lajunya kelemahan, menjaga luas gerak sendi, memelihara fleksibilitas otot, menghindari kontraktur dan mencegah terjadinya deformitas yang dapat memperparah keadaan pasien. Untuk mencapai tujuan tersebut banyak metode terapi latihan yang dapat diberikan seperti relaxed passive movement, forced passive movement, stretching atau gabungan dari teknik-teknik tersebut.

Definisi

Dystrophia muskulorum progresiva (DMP) adalah suatu kelompok kelainan genetik yang menyebabkan kelemahan otot secara progresif. Gejala yang terjadi pada penderita DMP berbeda-beda sesuai dengan distribusi dan perluasan kelemahannya, onset usia, dan tingkat progresifitasnya (Hendy S, 2008).


Duchenne muskular dystrophy (DMD) adalah penyakit turunan (X-linked) yang menyerang secara progresif pada otot karena adanya mutasi gen untuk pembentukan protein dystrophin di dalam serat otot (Faye Williams, 2008).

Duchenne muskular dystrophy adalah penyakit kelainan otot yang disebabkan karena adanya delesi dalam kromosom X bagian p21 yang mengkode protein dystrophin, yaitu suatu komponen penting struktur otot. Tanpa adanya dystrophin, sarkolema akan menjadi tidak stabil. Ketidakstabilan ini meyebabkan struktur otot akan rusak (Leigh Chambers, 2008).



Etiologi

Duchenne muskular dystrophy disebabkan oleh suatu mutasi gen dystrophin yang bertanggung jawab atas struktur otot, ketidakhadiran dystropin menyebabkan kerusakan pada struktur otot, sehingga menyebabkan masuknya kalsium secara berlebihan menembus sarkolema. Dengan masuknya kalsium yang berlebihan menyebabkan tekanan oksidatif pada sarkolema.

Duchenne muskular dystrophy adalah suatu penyakit yang disebabkan karena kelainan kromosom X regio p21, sehingga penyakit ini banyak mengenai pada laki-laki. Karena pada wanita mempunyai dua kromosom X, satu kromosom X dari ibunya dan satu lagi kromosom X dari ayahnya. Jika wanita tersebut mendapatkan warisan kromosom Xp21 yang cacat baik dari ibu atau dari ayahnya maka wanita tersebut akan menjadi pembawa kecacatan, yang diturunkan kepada anak-anaknya. Sedangkan pada laki-laki hanya mempunyai satu kromosom XY. Kromosom X diturunkan dari ibunya dan kromosom Y di turunkan dari ayahnya, sehingga apabila anak laki-laki tersebut menerima kromosom Xp21 yang cacat, anak laki-laki tersebut sudah pasti mendapat penyakit ini.

Wanita yang memiliki kecacatan pada salah satu kromosom Xp21 tidak akan memperlihatkan kelainan seperti pada pria, karena wanita mempunyai dua kromosom X, dimana kromosom yang dominan akan menggantikan kecacatan yang terjadi pada kromosom yang cacat, sehingga wanita akan terkena penyakit ini apabila wanita tersebut mendapatkan warisan kromosom Xp21 yang cacat dari kedua orang tuanya (Brian Kirmse, 2006).

Pada tahun 1986 para ilmuan menemukan bahwa gen bertanggung jawab atas terjadinya Duchenne muskular dystrophy, tetapi para ilmuan tersebut masih mencari jawaban mengapa gen dapat menyebabkan kelemahan otot. Pada tahun berikutnya suatu protein yang disebut dystrophin ditemukan. Pada penderita Duchenne muskular dystrophy protein tersebut tidak ditemukan di dalam otot mereka. Dystrophin berfungsi untuk memelihara struktur dari otot, Ketidakhadiran dystrophin menyebabkan struktur otot menjadi rusak sehingga menyebabkan salah satu unsur pokok kinase kreatina kelur dari otot, dimana unsur tersebut dibutuhkan dalam proses membentukan energi untuk kontraksi otot (Emery Alan, 1994).

Wagner dkk (2001) menyebutkan bahwa Duchenne muskular dystrophy ini disebabkan oleh mutasi pada gen terpaut kromosom X (bersifat resesif), yang menyebabkan penghentian prematur pada translasi distropin, yaitu salah satu protein yang berperan dalam pembentukan sel-sel tulang dan serat-serat otot.

Pada penderita Duchenne muskular dystrophy terdapat kerusakan struktur otot yang disebabkan ketidakhadiran dystrophin di dalam otot, sehingga menyebabkan keluarnya creatine phospokinase (CPK) yang berfungsi sebagai unsur pokok dalam proses pembentukan energi untuk kontraksi otot. Karena adanya kerusakan pada otot tadi, menyebabkan masuknya kalsium yang berlebih ke dalam otot sehingga menyebabkan kematian sel yang pada akhirnya serat otot akan mengalami nekrosis dan digantikan oleh jaringan lemak (Wikipedia, 2007).

Gambaran Klinis

Gambaran klinis yang utama pada Duchenne muskular dystrophy adalah kelemahan otot, yang mula-mula menyerang pada otot-otot panggul kemudian menyebar ke bahu, lengan dan kaki.

Gejala kelemahan ini dimulai pada anak berusia 3 - 5 tahun, anak dengan yang menderita DMP ini biasanya tumbuh seperti anak-anak normal lainnya, tetapi sewaktu anak mulai berdiri dan mencoba untuk berjalan, maka kelemahan pada otot-otot menjadi jelas terlihat, pada anak DMD biasanya mempunyai pola berjalan “waddling gait atau clumsy gait”, yaitu gaya berjalan terombang-ambing. Ini terjadi akibat dari kelemahan otot-otot panggul, dimana otot-otot panggul dipaksa bekerja, sehingga badan terombang ambing. Bisanya pada penderita DMD terjadi pseudohipertrofi otot-otot terutama pada betis.

Pada usia 5 tahun anak tidak pandai berlari seperti anak lainnya, dan sering terjatuh, setelah jatuh anak akan sulit untuk bangun. Pada saat anak mencoba untuk bangun, ia seakan-akan memanjat dirinya sendiri agar dapat berdiri tegak. Pada awalnya si anak jongkok, kemudian kedua tangan berpegangan pada tungkai bawah, kemudian pegangan merambat kearah atas, mencapai lutut, paha, dan akhirnya anak tersebut mampu berdiri, tanda-tanda ini disebut Gower’s sign. Lordosis lumbal akan menjadi berlebihan (Harsono, 1996).

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan creatinine phosphokinase (CPK) di dalam darah (Lauro, 1985). Peningkatan yang terjadi sebanyak 50 – 100 kali lebih besar yaitu sekitar 15.000 – 35.000 iu/1, pada orang normal CPK dalam darah sebesar 30 - 60 iu/1 (Wikipedia, 2008).

Pemeriksaan biopsi otot dilakukan untuk membedakan penyebab kelainan neuromuscular, kelainan metabolic myopathi dan kelainan bawaan. Pemeriksaan biopsi otot juga dilakukan untuk mengetahui kehadiran dystrophin pada otot (Laura, 1985).


iirieut@yahoo.co.id

Kamis, 01 Juli 2010

kecerdasaan anak

kecerdasan anak, bukan dilihat dari nilai IQ atau EQ nya saja...

namun ada 7 kecerdasan yang menunjang kesuksesaan anak di masa depannya...